Analisis mengenai pengangkatan HM.Soeharto ( presiden ke 2 RI ) sebagai Pahlawan Nasional

1.   Biografi Presiden Soeharto dari kecil sampai akhir hayat.

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernHM Soehartoama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran. Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998. Setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, mantan presiden Soeharto akhirnya meninggal dunia pada Minggu, 27 Januari 2006). Soeharto meninggal pada pukul 13.10 siang dalam usia 87 tahun

2.Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup dan Kekuasaan Soeharto

Haji Muhammad Soeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah sosok nama besar yang memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Namun, akhirnya ia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik. Saat ia baru meletakkan jabatan, ada rumor yang berkembang. Seandainya Pak Harto mendengar hati nurani isteri yang dicintainya, Ibu Tien Soeharto, yang konon, sudah menyarankannya berhenti sekitar sepuluh tahun sebelumnya, pasti kepemimpinnya tidak berakhir dengan berbagai hujatan yang memojokkannya seolah-olah ia tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.

Ia memang seperti kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto meninggal dunia (Minggu 28 April 1996). Pak Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan hal seperti ini. Banyak pria (pemimpin) yang justru ‘kuat’ karena didukung keberadaan isterinya. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.Pak Harto tidak segera mencari pengganti isterinya. Kesepiannya seperti teratasi atas dorongan pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Ia menghabiskan waktu dalam mengemban tugas beratnya sebagai presiden. Apalagi beberapa pembantunya memberinya laporan dan harapan yang mendorongnya untuk tetap bertahan sebagai presiden. Bahkan, bersama pembantunya (menterinya) BJ Habibie, ia bisa berjam-jam berbicara. Tak jarang para staf harus menyediakan mie instan jika menunggui pertemuan mereka itu.

Rakyat bangsa ini tentu masih ingat. Seusai Pemilu 1997 dan sebelum Sidang Umum MPR, Maret 1998, para pembantunya, di antaranya Harmoko, selaku Ketua Umum DPP Golkar, menyatakan akan tetap mencalonkan HM Soeharto sebagai presiden 1998-2003. Tapi, justeru pada HUT Golkar ke-33, Oktober 1997 itu, HM Soeharto mengembalikan pernyataan itu untuk dicek ulang: Apakah rakyat sungguh-sungguh masih menginginkannya menjadi presiden? Setelah berselang beberapa bulan, tepatnya tanggal 20 Januari 1998, tiga pimpinan Keluarga Besar Golkar atau yang lazim disebut Tiga Jalur Golkar, yakni jalur Golkar/Beringin (Harmoko), jalur ABRI (Feisal Tanjung) dan jalur birokrasi (Yogie SM), datang ke Bina Graha menyampaikan hasil pengecekan ulang keinginan rakyat dalam pencalonan HM Soeharto sebagai Presiden RI. Saat itu mereka melaporkan kepada Pak Harto. “Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko mengumumkan kepada pers usai melapor kepada Pak Harto. “Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003,” tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu. Menurut Harmoko, Jenderal TNI (Purn) H Muhammad Soeharto, setelah menerima hasil pengecekan itu, menyatakan bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden RI masa bhakti 1998-2003. Selain mengumumkan kesediaan Pak Harto dipilih kembali sebagai Presiden RI, menurut Harmoko, Keluarga Besar Golkar juga membuat kriteria untuk calon Wakil Presiden, antara lain memahami ilmu pengetahuan dan industri. Pernyataan ini mengarah kepada BJ Habibie.

Dari hasil pengecekan yang dilakukan oleh keluarga besar Golkar itu, masih menurut Harmoko, Pak Harto menghargai kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut walaupun harus ada pengorbanan bagi kepentingan keluarga. Tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara, Haji Muhammad Soeharto tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sebagai patriot dan pejuang bangsa.“Dengan adanya kepercayaan rakyat ini tidak membuat Bapak Haji Muhammad Soeharto bersikap ‘tinggi glanggang colong playu.’ Itu istilah Pak Harto yang artinya tidak meninggalkan tanggung jawab dan mengelak dari kepercayaan rakyat tersebut demi kepentingan negara dan bangsa,” tegas Harmoko.Tapi, ternyata itulah awal sebuah tragedi pembusukan dan pengkhianatan digulirkan. HM Soeharto memang terpilih kembali menjadi Presiden periode 1998-2003 pada Sidang Umum MPR, 1-11 Maret 1998. Didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.

Namun, komponen mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat terus melancarkan demonstrasi meminta Presiden Soeharto dan Wapres BJ Habibie turun serta Golkar dibubarkan. Saat itu, Pak Harto masih terlihat yakin bahwa demonstrasi itu akan surut dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Maka pada awal Mei 1998, ia berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Saat berangkat, di bandara Halim Perdanakusuma, ia dilepas Wakil Presiden BJ Habibie, Fangab Feisal Tanjung, juga Ketua Harian ICMI Tirto Sudiro dan sejumlah menteri lainnya yang sebagian diantaranya kemudian mengkhianatinya. Sementara, sepeninggal Pak Harto, dalam beberapa hari kemudian, suasana Jakarta semakin mencekam. Selain akibat demonstrasi mahasiswa makin marak, juga tersiar isu terjadi sesuatu misteri dalam tubuh ABRI. Misteri itu diwarnai arah pengelompokan dalam tubuh militer itu. Selain banyak aktivis pro demikrasi ‘hilang’ entah kemana, juga diisukan ribuan anggota militer ‘menghilang’ dari kesatuannya memembawa persenjataan lengkap dan amunisi cadangan. “Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, adalah suatu tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabannya. Apakah suatu power game sedang dimainkan di Indonesia? Siapa yang bermain dengan kelompok bersenjata, serta bagaimana peta kekuatan gerakan sipil? Adalah sesuatu yang harus kita analisa bersama,” tulis sebuah majalah ketika itu. Beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tetap misterius.

Suasana makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas Trisakti. Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya. Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya. Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam suasana berkabung. Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu, Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiswa datang!” Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan. Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir. Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.

Setiba di Jakarta, HM Soeharto kemudian mengundang beberapa tokoh masyarakat, di antaranya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, tanpa Amien Rais dan Adi Sasono, untuk membicarakan pembentukan Komite Reformasi. Ia juga berencana merombak kabinetnya menjadi Kabinet Reformasi. Ia menawarkan reformasi secara gradual untuk mencegah terjadinya keguncangan.Ia juga menerima rombongan rektor Universitas Indonesia. Mereka ini datang untuk meminta Presiden Soeharto berhenti dengan hormat. HM Soeharto mempersilahkan mereka menyampaikan aspirasi itu melalui MPR. Demonstrasi mahasiswa pun akhirnya terpusat ke gedung MPR/DPR. Mereka menduduki gedung legislatif itu. Harmoko, yang menjabat Ketua MPR dan pimpinan MPR lainnya menampung desakan mahasiswa yang meminta Pak Harto turun. Di hadapan para mahasiswa itu, Harmoko menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Harmoko seperti tak terpengaruh atas pernyataannya saat meminta kesediaan Pak Harto untuk dicalonkan kembali menjadi presiden jauh hari sebelum SU MPR. Pernyataan Harmoko ini kemudian dijelaskan (dibantah) Pangab Jenderal Wiranto sebagai bukan pernyataan institusi tapi lebih merupakan pernyataan pribadi.

HM Soeharto tentu dengan cermat terus mengikuti perkembangan itu. Sampai sore tanggal 20 Mei 1998, tampaknya ia masih yakin akan bisa mengatasi keadaan secara damai dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet menjadi Kabinet Reformasi. Tapi keinginan baik Pak Harto ini disambut dingin berbagai kalangan bahkan tragisnya ditolak sebagian pembantunya (menteri) yang dibesarkannya.Rupanya inilah detik-detik terakhir ia menjabat presiden. Hari itu, Rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19:30, Pak Harto menerima Mantan Wakil Presiden Sudharmono di kediaman Jalan Cendana 8 Jakarta. Saat itu, menurut Sudharmono, Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII. Sekitar setengah jam berikutnya, pukul 20.00, Wakil Presiden B.J. Habibie menghadap Pak Harto. Lalu sekitar pukul 20:30, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto yang sedang bersama Wakil Presiden B.J. Habibie di ruang tamu kediaman Jalan Cendana 8 itu. Di hadapan Wakil Presiden BJ Habibie, Presiden Soeharto meminta Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final: Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi. Saat itu, Presiden Soeharto menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya besok hari, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden Soeharto juga minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan. Kemudian Wakil Presiden B.J Habibie pulang. Sementara itu, sebanyak empat belas orang menteri membuat pernyataan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang direncanakan Pak Harto. Mereka itu adalah para menteri yang sebelumnya dibesarkan Pak Harto.

Lalu, sekitar pukul 21:00, setelah BJ Habibie pulang itu, Saadillah Mursyid mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Pak Harto. Dalam kesempatan itu, Saadillah Mursyid melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Saadillah juga melaporkan adanya informasi bahwa empat belas orang menteri yang direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet. Setelah itu, Saadillah pulang.

Tapi sekitar pukul 21:40, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto lagi. Saadillah bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para menteri. Saadillah terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika ditanyakan, barulah ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto menunggu di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi. Sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998 itu, HM Soeharto mempersilakan Saadillah duduk di sebelahnya. Kursi hanya ada satu, di situ HM Soeharto duduk. Lalu Saadillah dipersilahkan menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi, agar bisa lebih dekat. Setelah hening sejenak, kemudian HM Soeharto mengatakan: “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.“ Lalu, kepada Saadillah sebagai Menteri Sekretaris Negara, diminta untuk mempersiapkan empat hal. Pertama, konsep ‘Pernyataan Berhenti dari jabatan Presiden RI’; Kedua, memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi dengan Presiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana Merdeka; Ketiga, memberitahu Wakil Presiden BJ Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung; Keempat, memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998 pukul 09:00.

Saadillah pun segera memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua Mahkamah Agung melalui telepon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Lalu, bersama-sama staf, Saadillah segera mulai melakukan penyusunan naskah Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan, Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Soenarto Soedharmo, ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal. Sementara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri Sekretaris Negara, memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata negara.  Konsep disusun secara bersama-sama, sebagaimana layaknya suatu pekerjaan staf. Bukan hasil kerja orang perorangan. Setelah konsep diteliti dan dikoreksi beberapa kali, pada pukul 03:00 menjelang subuh tanggal 21 Mei 1998 naskah Pernyataan telah siap untuk diajukan kepada Presiden.

Naskah diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Ajudan menaruh naskah itu di meja kerja Presiden.Pagi harinya, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”

“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.

Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu. HM Soeharto pun ‘diasingkan’ dari Golkar yang dibesarkannya. Elit-elit Golkar malah yang duluan teriak agar Soeharto ditahan karena kejahatan-kejahatan yang dituduhkan kepadanya selama memerintah. Golkar yang sebelumnya lebih didonimasi pengaruh ABRI tampak bergeser lebih didominasi elit-elit ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Penyebutan nama orang secara eksplisit – mantan Presiden Soeharto – dalam pasal ini tampak tendensius, absurd dan sangat diwarnai sifat subjektivitas politik serta di luar kelaziman sistem ketatanegaraan Indonesia. Bukankah sebaiknya format suatu Tap MPR merupakan garis-garis umum dari suatu kebijakan negara? Jadinya, pasal ini seperti hendak diposisikan hanya berlaku kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi tidak berlaku bagi mantan presiden yang lainnya. Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Pak Harto pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Ia pun akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Ia menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan.Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianat, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justeru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa. Satu di antaranya adalah Saadillah Mursyid, mantan Menteri Sekretaris Negara. Saadillah menyatakan: “Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Qur‘an, Surah Ar Ra’ad ayat 25).

3.Polemik pengangkatan HM.Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

A.   Dasar Hukum :

  1. UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK)
  2. Undang-undang No. 5 Prps Tahun 1964, tentang Pemberian, Penghargaan/Tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/ Kemerdekaan.
  3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
  5. PP Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

 B.   Pendapat / Opini masyarakat Indonesia :

  • Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai (alm) mantan Presiden Soeharto pantas memperoleh gelar Pahlawan Nasional dari negara.Soeharto pantas jadi pahlawan bukan karena tanpa kekeliru an, namun setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. “Soeharto pantas jadi pahlawan,” tandas Hasyim, hal itu terkait masuknya nama Soeharto bersama sembilan tokoh lainnya sebagai calon penerima gelar pahlawan yang diajukan pemerintah berdasar masukan dari masyarakat yang mengundang pro-kontra.

“Soeharto pantas jadi pahlawan bukan karena tanpa kekeliruan, namun setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya,” katanya. Menurut Hasyim, mengukur jasa Soeharto terhadap negara tidak bisa hanya diukur atau dilihat dari suasana Indonesia hari ini. “Soeharto memulai kekuasaannya dalam suasana revolusioner. Tanpa Soeharto, Indonesia sudah menjadi negara komunis, tanpa Pancasila, tanpa UUD 1945, dan tanpa agama,” tandasnya.

Dikatakannya, saat itu Dewan Revolusi Partai Komunis Indonesia (PKI) telah terbentuk dari pusat, Jakarta, sampai tingkat desa, siap mengambil alih kekuasaan andaikan pemberontakan berhasil. Diakuinya, Soeharto melakukan rehabilitasi kenegaraan dengan ongkos mahal. Pada 15 tahun pertama tampak gemilang, pembangunan berjalan pesat. Namun, pada 15 tahun berikutnya mulai tampak kesewenang-wenangan, korupsi, dan nepotisme akibat sentralisasi kekuasaan.

“Maklum, yang kuasa tentara dan birokrasi, jadi tidak ada kontrol,” kata kiai yang menyandang gelar Doktor Honoris Causa bidang kebudayaan Islam itu.

Pada bagian lain, Hasyim mengatakan, saat ini memang perlu dilakukan rekonsiliasi nasional agar negara tidak hidup dalam dendam.  “Apalagi kebanyakan kelompok PKI telah hidup normal bersama warga negara lainnya, bahkan sangat banyak yang jadi santri, bahkan jadi kiai mendirikan pondok pesantren. Sehingga, rekonsiliasi nasional adalah sebuah keniscayaan,” katanya.  Namun, lanjut Hasyim, masih adanya kelompok kecil PKI yang ngotot menerapkan marxisme-leninisme di Indonesia tetap harus dicegah, bukan karena masalah dendam, melainkan demi tegaknya negara Pancasila yang berketuhanan.

  • Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mohammad Mahfud MD menyatakan, secara pribadi setuju pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden RI kedua, Soeharto. “Saya secara pribadi sebagai orang Indonesia sebenarnya tidak apa-apa diberi gelar pahlawan tersebut,”  Menurutnya, sebagai bangsa yang punya kesantunan Indonesia patut menghargai pemimpin yang sudah lalu, melupakan kesalahannya dan mengingat jasa-jasanya.

“Toh dia tak akan `kaweh-kaweh` lagi, taroklah mengatur pemerintahan. Tapi, kita serahkan saja kepada Menkopolhutkam sebagai ketua dewan tanda-tanda jasa,” katanya. Menurutnya, Soeharto telah menata pembangunan di negeri ini dan juga membangun ekonomi yang jasanya selama kurun waktu 32 tahun tanpa bisa dibantah siapapun.

  • Pengamat ekonomi dan politik, Ginandjar Kartasasmita setuju dengan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto karena Soeharto telah berjasa besar terhadap bangsa Indonesia.“Beliau tidak pernah absen dalam setiap tahap dan berbagai peristiwa bersejarah dalam perjuangan kita sebagai bangsa,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu. Selain aktif dalam perang kemerdekaan, menurut Ginandjar, Soeharto adalah peletak dasar pembangunan Indonesia menjadi bangsa yang modern. Sebagian infrastruktur yang ada saat ini adalah hasil kerja Soeharto semasa memimpin Indonesia.“Para elit kita, termasuk di `civil society`, mendapat pendidikan pada masa Orde Baru,” katanya menambahkan.Ginandjar memahami jika publik membahas berbagai hal yang dianggap sebagai kesalahan Soeharto pada masa lalu. Namun, katanya, kesalahan itu tidak serta merta menghapus jasa dan sifat kepahlawanan Soeharto.“Kita memang tidak boleh melupakan kesalahan di masa lalu, supaya tidak terulang lagi, tetapi sebagai umat beragama dan bangsa yang besar, kita harus bisa memaafkan kesalahan di masa lalu,” katanya.Salah satu sifat kenegarawanan Soeharto yang patut dihargai adalah ketika dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Ginandjar menegaskan, keputusan itu diambil oleh Soeharto untuk memperbaiki situasi yang semakin memburuk. “Karena beliau menghormati konstitusi. Karena beliau ingin menghindari terjadinya konflik yang lebih besar,” katanya.
  • Mantan Wakil Presiden, HM Jusuf Kalla, menilai perlu banyak pertimbangan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi mantan Presiden Republik Indonesia HM Soeharto.“Semua pemimpin di negeri ini mempunyai kelebihan dan juga punya kekurangan dalam menjalankan pemerintahan. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional,” tuturnya, di Makassar, Sabtu.Ia mengatakan, mantan pemimpin negeri ini, seperti Soekarno pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena berbagai pertimbangan, baik dari segi keberhasilan maupun kekurangannya.Gelar pahlawan nasional ini, kata dia, diberikan dengan tujuan agar masyarakat dan generasi mendatang bisa mengenang jasa dan kontribusinya bagi Indonesia.“Jika alasan untuk memberikan gelar adalah agar bisa dikenang, mantan Presiden Soeharto pun sudah memiliki gelar Bapak Pembangunan yang telah diingat oleh masyarakat,” imbuhnya.Ia menilai, gelar sebagai Bapak Pembangunan tentunya tidak akan mengurangi harkat dan martabatnya sebagai orang yang memiliki jasa bagi pembangunan di Indonesia.“Jadi, rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto tersebut merupakan hal yang wajar mengingat kontribusi yang diberikan Soeharto pada masa pemerintahannya,” tandasnya.Namun, lanjutnya, pemerintah juga harus mempertimbangkan segala sesuatunya secara logis, khususnya situasi pro dan kontra yang muncul dari kalangan masyarakat terkait rencana ini
  • PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN /PDIP menentang Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Suharto: Fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Komaruddin Watubun menyatakan mantan Presiden RI Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan nasional karena masa lalunya lebih banyak sisi gelapnya.“Memang selama Pak Harto berkuasa, banyak membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia, namun di balik itu juga banyak melukai hati rakyat Indonesia,” kata Komaruddin kepada wartawan. Kepada tim penilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden RI itu, Komaruddin mengharapkan agar memberikan data seobyektif mungkin soal plus-minus Soeharto selama berkuasa.Dengan begitu, kata dia, pemerintah yang akan memberikan gelar itu benar-benar mempertimbangkan berbagai aspek kelayakan dari pemberian gelar tersebut.“Jangan karena pernah berkuasa, lalu mengabaikan sisi-sisi gelap dari yang akan menerima penghargaan itu,” katanya.Komaruddin memberi contoh mantan presiden RI Bung Karno yang berjuang habis-habisan untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai saat ini, kata dia, mantan presiden RI pertama itu tidak pernah diberi gelar sebagai pahlawan nasional, karena masa lalunya juga diwarnai beberapa sisi gelap.“Nah, kalau Presiden pertama RI tidak diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional karena ada catatan masa lalu, mengapa Pak Harto yang sisi gelapnya lebih banyak harus diberi penghargaan, kan aneh,” katanya.Karena itu, lanjut Komaruddin, sampai kapan pun PDIP akan tetap tidak setuju kalau mantan presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.“Itu sikap dari PDI Perjuangan, tidak setuju Pak Harto diberi belar sebagai pahlawan nasional.
  • PARTAI GOLKAR – Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, mengungkapkan bahwa Soeharto patut diberikan gelar pahlawan karena jasa-jasanya dalam memimpin negara puluhan tahun. Ia pun meminta setiap pihak agar berpikiran positif dan jangan melihat sisi keburukan dari Soeharto.” Saya setuju semua mantan presiden diberi gelar pahlawan nasional. “ “Saya berpandangan nama mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur patut untuk jadi pahlawan nasional. Dengan segala kelebihan mereka, mereka amat sangat patut jadi pahlawan nasional,” ujar Priyo, Senin (18/10/2010), di Gedung DPR RI, Jakarta. Ia pun tak ragu-ragu untuk menyarankan pemerintah untuk menganugerahkan kedua mantan presiden tersebut sebagai pahlawan nasional.Terkait pro dan kontra pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, Priyo meminta semua pihak untuk melihat positifnya daripada melihat keburukuannya. “Karena selama ini beliau memimpin bangsa karena ada jasa besar dari dia dan tidak bisa dilupakan begitu saja hanya karena kejengkelan kita,” ucap Priyo. Menurut Priyo, seluruh mantan presiden RI pantas apabila disematkan gelar pahlawan nasional karena seluruhnya memiliki jasa bagi negeri ini. “Saya setuju semua mantan presiden diberi gelar pahlawan nasional,” ungkapnya. Ditanya, apakah pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional ini tidak mengkhianati para korban HAM di masa Soeharto, Priyo menjawab, “Ah tidak itu, kalau kita berpikiran seperti itu setiap orang pasti ada saja buruknya”.
  • Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menantang pemerintah untuk menguji kelayakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Jenderal (Purn) HM Soeharto.Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengatakan, rencana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto telah mengaburkan makna kepahlawanan yang seharusnya lahir dari kepribadian pahlawan tersebut.Haris membandingkan Soeharto dengan almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang juga sama-sama pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.”Tanpa harus menjadi Presiden pun, Gus Dur sudah memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Adapun (usulan gelar bagi) Soeharto itu karena jabatannya, bukan karena personality-nya,” kata Haris dalam jumpa pers di kantor KontraS, Senin (18/10/2010) siang “Kalau dia (Soeharto) berbuat baik selama menjadi presiden, itu sudah sewajarnya bagi seorang presiden,” tambahnya. Haris menambahkan, jabatan presiden yang disandang Soeharto pun masih mengandung tanda tanya besar karena prosesnya dilalui dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia pada 1965. Pelanggaran itu kemudian terjadi lagi pada era Orde Baru hingga saat-saat menjelang Soeharto lengser dari posisi RI 1. Jutaan orang yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh Soeharto akan menolak pemberian gelar tersebut.”Kalau pemerintah serius ingin memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, KontraS menantang pemerintah untuk melakukan uji kelayakan nama Soeharto secara nasional. Saya pikir pahlawan nasional bukan dinilai oleh orang-orang di lingkungan istana saja. Tapi, tanyakan kepada 240 juta penduduk di Indonesia,” Haris menegaskan.
  • Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan rilis survei terbaru mengenai warisan politik Soeharto. Mantan Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu belakangan kembali ramai diperbincangkan menyusul usulan penabalan gelar pahlawan nasional atas dirinya. Beberapa waktu lalu, putranya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, menyatakan ketertarikan untuk berkiprah di kancah politik. Namun, menurut survei LSI, baik Tommy maupun kakaknya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), yang pernah mendirikan partai, berpeluang kecil melanjutkan kedigdayaan politik orangtuanya.Direktur LSI Dodi Ambardi menyebutnya sebagai akhir dari warisan politik Soeharto. “Warisan politik Soeharto tampaknya sudah berakhir. Segala upaya untuk memulihkan nama baik dan warisan politik Soeharto bertabrakan dengan aspirasi rakyat,” kata Dodi, Gagasan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional pun, menurutnya, akan mendapatkan perlawanan. Berdasarkan survei LSI terhadap sekitar 2.500 responden pada 7-21 Oktober 2010  menunjukkan, Tommy cukup populer. Sebanyak 72 persen mengaku mengetahui Tommy. Akan tetapi, dari mayoritas yang mengetahui Tommy menyatakan tak menyukai (47 persen) sosok “Pangeran Cendana” tersebut. Ketika diajukan pertanyaan, “Bila pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih?” Hanya 0,8 persen yang memilih Tommy. “Sisanya, sebanyak 73,2 persen memilih nama selain Tommy,” ujar Dodi. Dengan hasil tersebut, dalam analisis LSI, secara elektabilitas, Tommy masih sangat rendah.

Rendahnya tingkat keterpilihan, menurut Dodi, karena masih adanya persepsi negatif yang melekat pada rezim Soeharto. “Resistensi terhadap Tommy konsisten dengan penilaian negatif terhadap Soeharto dan otoritarianisme Orde Baru,” katanya. Peneliti Senior LSI, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, berakhirnya warisan politik Soeharto juga ditandai dengan tidak berjayanya partai yang dibentuk Tutut, Partai Karya Peduli Bangsa, pada arena pemliu. “Partai yang diasosiasikan dengan Soeharto dan menjual romantika Orba tidak dapat dukungan publik,” ujarnya.Hasil survei terhadap elektabilitas Tommy, dinilainya, juga menghilangkan anggapan bahwa anak-anak Soeharto akan mudah mengail dukungan masyarakat karena kebesaran nama ayahnya. “Ternyata tidak ada justifikasi empiriknya. Popularitas tinggi, tapi banyak yang tidak suka. Ini karena masyarakat melihat aspek negatifnya,” kata Burhan.

  • Masyarakat Indonesia saat ini mendambakan kondisi seperti era Orde Baru, di mana pemerintahan dipegang oleh Presiden Soeharto. Itulah kesimpulan survei Indo Barometer atas 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia pada tanggal 25 April sampai 4 Mei 2011. Dari hasil survey Indo Barometer ,sebuah Lembaga Survey Nasional yang dipimpin oleh M.Qodari,sebanyak 36,5 persen responden (dari 1200 responden) memilih almarhum mantan Presiden Soeharto sebagai presiden yang paling disukai. Selanjutnya, 20,9 persen memilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 9,8 persen memilih almarhum mantan Presiden Soekarno, 9,2 persen memilih mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, 4,4 persen memilih B.J. Habibie, 4,3 persen memilih almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid.

Indo Barometer menemukan, 40,9 persen memilih kondisi pada saat masa Orde Baru. “Hanya 22,8 persen yang memilih kondisi saat ini (di masa Reformasi),” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam jumpa pers di Hotel Atlet Century, Jakarta, Minggu 15 Mei 2011.Lebih lanjut Qodari menjelaskan, masyarakat yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan sama-sama menyatakan Orde Baru lebih baik. “Namun secara persentase publik perkotaan menyatakan Orde Baru lebih baik, lebih tinggi, yakni 47,7 persen dibandingkan pedesaan yakni 35,7 persen,” katanya. Hal menarik, hampir responden dari semua pulau mengganggap Orde Baru lebih baik dari pada Era Reformasi kecuali Pulau Sulawesi. Publik di Pulau Jawa yang memberikan tanggapan paling banyak dalam memilih masa Orde Baru yakni 48 persen. “Di Sulawesi pemilih era reformasi lebih banyak yakni 41,1 persen,” tuturnya.